Salah satu kebutuhan pokok manusia modern dewasa ini, selain sandang, pangan, dan papan, adalah pendidikan. Di zaman ini, bersekolah merupakan sebuah keniscayaan. Sekolah pada dasarnya merupakan bekal seorang anak manusia di masa depan agar ia menjadi manusia dewasa yang berilmu, beradab, dan mandiri.
Sejarah pun mencatat, perubahan sosial acap kali digerakkan oleh kaum terpelajar dan orang-orang terdidik yang memiliki tanggung jawab pada masyarakatnya. Pergerakan nasional kita yang berawal pada permulaan abad ke-20 merupakan akibat munculnya sejumlah kecil kaum muda terpelajar yang peduli pada nasib bangsanya, misalnya Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, Suwardi Suryaningrat, Tirto Adi Suryo, Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.
Mereka ini merupakan produk politik etis Van Deventer, yang membuat segelintir lapisan elite kaum pribumi bisa mengecap pendidikan dan pada gilirannya terbuka matanya melihat penderitaan bangsanya yang terjajah.
Demikian pula dua kali pergantian kekuasaan yang ditandai tumbangnya rezim otoriter pada 1966 dan 1998 tak bisa dilepaskan dari peran gerakan mahasiswa.
Di zaman merdeka ini, selayaknya anak-anak bangsa mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dan berbakti pada bangsanya di masa depan melalui pendidikan yang membebaskan. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Dunia pendidikan kita diruwetkan oleh sejumlah masalah, dari komersialisasi pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, penggusuran bangunan sekolah untuk dibuat lahan bisnis, praktek kekerasan dalam dunia pendidikan, hingga masalah pengangguran yang menghantui para lulusan sekolah.
Salah satu masalah yang juga mengemuka dari sistem pendidikan kita dewasa ini adalah orientasi pendidikan kita yang cenderung hanya mendorong para lulusannya menjadi objek dunia industri dan kapitalisme global, bukannya menjadi subjek mandiri yang berilmu dan berwawasan luas.
Hal-hal negatif dari sistem pendidikan seperti itu telah dicermati secara kritis oleh para pemikir pendidikan, seperti Ivan Illich dan Paulo Freire, dalam buku-bukunya yang telah diterjemahkan di sini, antara lain “Pendidikan Kaum Tertindas” (1984) dan “Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan” (2002). Sejumlah penulis lokal pun telah menulis kritik terhadap permasalahan pendidikan kita, antara lain Roem Topatimasang melalui bukunya “Sekolah Itu Candu” (1999) dan Francis Wahono dalam “Kapitalisme Pendidikan” (2004).
Persoalan-persoalan kelam dalam dunia pendidikan kita, terutama menyangkut betapa mahalnya biaya pendidikan kita dewasa ini, kembali dibahas secara kritis dalam buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah!” karya Eko Prasetyo.
Membaca buku ini, kita disadarkan akan banyaknya kerancuan dan ketidakberesan dalam sistem pendidikan kita yang berujung tingginya biaya sekolah, sehingga banyak lapisan masayarakat berpenghasilan rendah tak mampu menjangkaunya. Akibat terburuknya adalah sulit terjadi lompatan sosial dan ekonomi dalam masyarakat, di mana mereka yang miskin terancam terus hidup melarat secara turun-temurun karena tak mampu menaikkan harkat hidupnya melalui pendidikan.
Seperti tersurat dalam buku ini, pendidikan seharusnya bisa diakses dengan biaya murah. Pendidikan harus bisa dijangkau oleh rakyat miskin. Posisi orang-orang miskin yang selama ini terlantar perlu dibangkitkan, dan negaralah yang pertama kali perlu mengambil tanggung jawab dengan melakukan langkah-langkah struktural yang sistematis. Pendidikan harus bisa menjadi sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia secara lahir-batin, yang pada gilirannya akan memajukan bangsa kita secara kolektif.
Eko mampu melengkapi buku ini dengan begitu banyak data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk kliping koran. Buku ini menjadi makin menarik karena dilengkapi ilustrasi komik yang bagus, cerdas, dan komunikatif. Eko juga tak hanya pandai mengkritik. Dalam bagian akhir buku ini, ia mengusulkan sejumlah langkah nyata untuk mewujudkan sekolah murah, antara lain dengan merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN, pemotongan gaji para pejabat tinggi yang dialokasikan pada dunia pendidikan, menarik pajak pendidikan dari perusahaan-perusahaan besar, serta melakukan investigasi dan tindakan tegas terhadap semua pihak yang melakukan korupsi atas anggaran pendidikan.
Walaupun terkadang terasa agak provokatif, buku ini membuka mata kita bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem pendidikan kita, sehingga hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga setinggi-tingginya, dan bahwa ada sekian banyak penyimpangan yang perlu diluruskan dalam praktek dunia pendidikan kita selama ini.
Anton Kurnia, penulis buku “Dunia Tanpa Ingatan: Sastra, Kuasa, Pustaka” (2004) dan kumpulan cerpen “Insomnia” (2004)
0 komentar:
Post a Comment